35. PRASASTI
PIETER ELBERVELD
Sebuah tugu peringatan tua berdiri
kokoh, tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat
di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker
menantang langit. Persis di badan tengah tembok itu, sebuah tulisan kuno
berbaris kaku berbunyi: “Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya
sang pengkhianat Pieter Elberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun,
mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu
bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722,” demikian
kira-kira terjemahan bebas dari bunyi huruf-huruf berbahasa Belanda dan Jawa
itu. Inilah prasasti Peter Elberverld.
Pieter Elberveld (lahir Ceylon, ???? - meninggal Batavia, 12 April 1722) adalah seorang tokoh yang tercatat dihukum mati oleh VOC pada tahun 1721 karena dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC.
Elberveld adalah orang Indo Jerman-Siam namun kemudian bekerja di Batavia. Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari kota Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal (NRW), Jerman. Ayahnya datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya.
Menurut versi VOC, Elberveld bersekongkol dengan beberapa pejabat Banten di Batavia untuk membunuhi orang Belanda pada suatu perayaan pesta malam tahun baru 1722. VOC juga menuduh ia bersekongkol dengan keturunan Surapati di Jawa bagian timur. Tidak diketahui motivasi Elberveld sesungguhnya, apakah ia memang ingin membantu orang Banten (dipimpin Raden Ateng Kartadriya) menguasai kembali Batavia, atau ia memiliki rencana sendiri, apabila Belanda enyah dari sana, karena ia sakit hati atas perlakuan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn yang telah menyita tanahnya.
Rencana pembunuhan ini bocor sebelum waktunya, karena ada budak yang melapor ke VOC. Versi lain mengatakan, kalau Sultan Banten-lah yang membocorkan karena ia khawatir akan pengaruh Elberveld dan Kartadriya yang akan merongrong kekuasaannya.
Godee Molsbergen, yang menulis tentang peristiwa itu, melihat banyak kejanggalan pada tuduhan yang dialamatkan VOC terhadap Elberveld.
Ia dihukum mati bersama dengan Kartadriya dan 17 orang penduduk asli lainnya di halaman selatan Benteng Batavia, bukan di halaman Balai Kota. Pelaksanaan hukuman mati itu digambarkan sangat sadis, punggung mereka diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok hingga putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar. Lalu jantung mereka dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah para terhukum. Kepala dipancung dan tubuh mereka diikat oleh 4 ekor kuda yang berada pada 4 posisi arah mata angin. Begitu kuda-kuda tersebut dihela maka berpecahanlah tubuh dan kulit mereka ke 4 penjuru. Kepala mereka lantas ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung sekaligus pembangkit efek jera kepada siapapun yang berniat melakukan pemberontakan terhadap VOC.
Tubuh Elberveld dimakamkan di suatu sudut kawasan Jacatra Weg atau sekarang dikenal dengan nama Jalan Pangeran Jayakarta, dan di sana kemudian didirikan suatu tugu peringatan. Di tugu itu dipajang tengkorak Elberveld yang ditusuk tombak dan di bawahnya terdapat prasasti. Saat kedatangan Jepang 1942, tugu itu dihancurkan namun prasastinya dapat diselamatkan. Replikanya kemudian didirikan kembali. Sejak tahun 1985 tugu itu kemudian dipindahkan ke Museum Prasasti (lihat disini), Jalan Tanah Abang 1, Jakarta Pusat karena tempat tugu itu berdiri dijadikan ruang pamer mobil. Kampung tempat makam ini sekarang dinamakan Kampung Pecah Kulit, konon karena kulit Elberveld terkelupas akibat hukuman itu.
Pieter Elberveld (lahir Ceylon, ???? - meninggal Batavia, 12 April 1722) adalah seorang tokoh yang tercatat dihukum mati oleh VOC pada tahun 1721 karena dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC.
Elberveld adalah orang Indo Jerman-Siam namun kemudian bekerja di Batavia. Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari kota Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal (NRW), Jerman. Ayahnya datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya.
Menurut versi VOC, Elberveld bersekongkol dengan beberapa pejabat Banten di Batavia untuk membunuhi orang Belanda pada suatu perayaan pesta malam tahun baru 1722. VOC juga menuduh ia bersekongkol dengan keturunan Surapati di Jawa bagian timur. Tidak diketahui motivasi Elberveld sesungguhnya, apakah ia memang ingin membantu orang Banten (dipimpin Raden Ateng Kartadriya) menguasai kembali Batavia, atau ia memiliki rencana sendiri, apabila Belanda enyah dari sana, karena ia sakit hati atas perlakuan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn yang telah menyita tanahnya.
Rencana pembunuhan ini bocor sebelum waktunya, karena ada budak yang melapor ke VOC. Versi lain mengatakan, kalau Sultan Banten-lah yang membocorkan karena ia khawatir akan pengaruh Elberveld dan Kartadriya yang akan merongrong kekuasaannya.
Godee Molsbergen, yang menulis tentang peristiwa itu, melihat banyak kejanggalan pada tuduhan yang dialamatkan VOC terhadap Elberveld.
Ia dihukum mati bersama dengan Kartadriya dan 17 orang penduduk asli lainnya di halaman selatan Benteng Batavia, bukan di halaman Balai Kota. Pelaksanaan hukuman mati itu digambarkan sangat sadis, punggung mereka diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok hingga putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar. Lalu jantung mereka dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah para terhukum. Kepala dipancung dan tubuh mereka diikat oleh 4 ekor kuda yang berada pada 4 posisi arah mata angin. Begitu kuda-kuda tersebut dihela maka berpecahanlah tubuh dan kulit mereka ke 4 penjuru. Kepala mereka lantas ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung sekaligus pembangkit efek jera kepada siapapun yang berniat melakukan pemberontakan terhadap VOC.
Tubuh Elberveld dimakamkan di suatu sudut kawasan Jacatra Weg atau sekarang dikenal dengan nama Jalan Pangeran Jayakarta, dan di sana kemudian didirikan suatu tugu peringatan. Di tugu itu dipajang tengkorak Elberveld yang ditusuk tombak dan di bawahnya terdapat prasasti. Saat kedatangan Jepang 1942, tugu itu dihancurkan namun prasastinya dapat diselamatkan. Replikanya kemudian didirikan kembali. Sejak tahun 1985 tugu itu kemudian dipindahkan ke Museum Prasasti (lihat disini), Jalan Tanah Abang 1, Jakarta Pusat karena tempat tugu itu berdiri dijadikan ruang pamer mobil. Kampung tempat makam ini sekarang dinamakan Kampung Pecah Kulit, konon karena kulit Elberveld terkelupas akibat hukuman itu.
36. TUGU PANCASILA
Tugu Api Pancasila merupakan
monumen utama TMII, berbentuk lima
buah keris yang berdiri menjulang dari dalam kolam air yang senantiasa
memancarkan air ke atas, dan berada di atas lahan sekitar 2 hektar. Selain
berfungsi sebagai wadah tugu, kolam air juga merupakan transformasi antara
bentuk vertikal tugu yang tumbuh menjulang dan dataran luas berupa plaza yang
menjadi satu kesatuan dengan kolam bundar, sedangkan pancaran tugu sebagai pusat
plaza menjalar ke seluruh dataran. Tugu Api Pancasila merupakan land mark TMII,
sebagaimana halnya Monas sebagai landmark Jakarta.
Tugu berbentuk 5 buah keris setinggi 45 meter, sedangkan kolam air bergaris tengah 17 meter. Di antara keris yang berjejer melingkar terdapat rongga kosong dengan jarak 8 meter. Angka 5 melambangkan lima sila dalam Pancasila, angka 17, 8, dan 45 mengacu pada tanggal proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Lantai plaza dihiasi motif bintang bersudut delapan dengan empat warna: merah, putih, hitam, dan kuning. Merah melambangkan keberanian, ketabahan, keyakinan pada kebenaran; putih melambangkan kedamaian dan kebahagiaan; hitam melambangkan kesadaran tentang hakikat hidup; dan kuning melambangkan semangat hidup.
Plaza Tugu Api Pancasila juga berfungsi sebagai alun-alun yang cocok dijadikan pusat kegiatan dan keramaian, seperti upacara, parade seni-budaya, sampling product, pesta rakyat, pertunjukan musik, serta ajang pesta dan hiburan rakyat. Upacara adat Suran, misalnya —selain untuk mengundang masyakat banyak, juga untuk mewadahi upacara adat yang hidup dalam masyarakat— menjadi peristiwa budaya tahunan di Plaza Tugu Api Pancasila.
Peringatan hari nasional dan puncak perayaan “Malam Tahun Baru” menggunakan tempat ini merupakan contoh lain kegiatan di tempat ini. Kegiatan-kegiatan semacam itu dimungkinkan karena daya tampung pengunjung dapat mencapai 20.000 orang.
Plaza juga dapat menjadi sarana berolahraga. Setiap Sabtu dan Minggu pagi pengunjung dapat menyaksikan dan ikut melakukan senam kebugaran dalam program Sabtu dan Minggu Ria.
Area parkir yang luas di kiri-kanan plaza merupakan sarana pendukung yang dapat menampung kendaraan dalam jumlah besar. Bahkan di deretan pohon beringin yang berdiri di sebelah kiri dan kanan plaza Tugu Api Pancasila dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pameran, bazaar, ataupun promosi produk.
Tugu berbentuk 5 buah keris setinggi 45 meter, sedangkan kolam air bergaris tengah 17 meter. Di antara keris yang berjejer melingkar terdapat rongga kosong dengan jarak 8 meter. Angka 5 melambangkan lima sila dalam Pancasila, angka 17, 8, dan 45 mengacu pada tanggal proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Lantai plaza dihiasi motif bintang bersudut delapan dengan empat warna: merah, putih, hitam, dan kuning. Merah melambangkan keberanian, ketabahan, keyakinan pada kebenaran; putih melambangkan kedamaian dan kebahagiaan; hitam melambangkan kesadaran tentang hakikat hidup; dan kuning melambangkan semangat hidup.
Plaza Tugu Api Pancasila juga berfungsi sebagai alun-alun yang cocok dijadikan pusat kegiatan dan keramaian, seperti upacara, parade seni-budaya, sampling product, pesta rakyat, pertunjukan musik, serta ajang pesta dan hiburan rakyat. Upacara adat Suran, misalnya —selain untuk mengundang masyakat banyak, juga untuk mewadahi upacara adat yang hidup dalam masyarakat— menjadi peristiwa budaya tahunan di Plaza Tugu Api Pancasila.
Peringatan hari nasional dan puncak perayaan “Malam Tahun Baru” menggunakan tempat ini merupakan contoh lain kegiatan di tempat ini. Kegiatan-kegiatan semacam itu dimungkinkan karena daya tampung pengunjung dapat mencapai 20.000 orang.
Plaza juga dapat menjadi sarana berolahraga. Setiap Sabtu dan Minggu pagi pengunjung dapat menyaksikan dan ikut melakukan senam kebugaran dalam program Sabtu dan Minggu Ria.
Area parkir yang luas di kiri-kanan plaza merupakan sarana pendukung yang dapat menampung kendaraan dalam jumlah besar. Bahkan di deretan pohon beringin yang berdiri di sebelah kiri dan kanan plaza Tugu Api Pancasila dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pameran, bazaar, ataupun promosi produk.
37. PATUNG MARINIR / BAHARI
MBAL
Patung yang terdapat di halaman
Markas Besar Tentara Nasional Angkatan Laut RI, di Jl. Gunung Sahari Jakarta Pusat itu adalah patung yang dibuat atas permintaan Menteri
Panglima Angkatan Laut R.E. Martadinata. Patung Bahari dibuat tahun 1964 dari
bahan perunggu dan dikerjakan oleh team pematung dari Keluarga Area Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso dan pengecoran
perunggunya dilaksanakan oleh bengkel pengecoran patung Perunggu Artistik
Direktorat Yogyakarta pimpinan L. Gardono. Patung yang tingginya mencapai 3 m,
berbobot 1 ½ ton itu pembuatannya dilaksanakan selama tujuh bulan.
Patung digambarkan dalam bentuk seorang manusia Bahari (pelaut) dengan peralatan laut berupa jangkar kapal. Ini merupakan simbol atau Lambang dari Kepahlawanan bahari (kelautan). Semboyan "kita bangsa bahari" sangat tepat dalam visualisasi yang ditampilkan pada wujud patung ini.
Makna filosofisnya ialah gugurnya pahlawan pelaut tak dikenal. Manusia (pelaut) dengan alat kebahariannya yang terjelma menjadi satu dengan laut telah menjadi bagian dari jiwanya. Tujuannya adalah mengobarkan semangat dan jiwa kelautan (bahari) dalam diri setiap insan pelaut Indonesia. Pantang mundur dalam setiap perjuangan membela dan mempertahankan negeri tercinta. Alasan penempatan di lokasi ini mempunyai nilai sejarah bagi Angkatan Laut RI semenjak berdirinya. Diresmikan di saat peringatan Hari Dharma Samudera pada tanggal 15 Januari 1967 oleh R.E. Martadinata.
Patung digambarkan dalam bentuk seorang manusia Bahari (pelaut) dengan peralatan laut berupa jangkar kapal. Ini merupakan simbol atau Lambang dari Kepahlawanan bahari (kelautan). Semboyan "kita bangsa bahari" sangat tepat dalam visualisasi yang ditampilkan pada wujud patung ini.
Makna filosofisnya ialah gugurnya pahlawan pelaut tak dikenal. Manusia (pelaut) dengan alat kebahariannya yang terjelma menjadi satu dengan laut telah menjadi bagian dari jiwanya. Tujuannya adalah mengobarkan semangat dan jiwa kelautan (bahari) dalam diri setiap insan pelaut Indonesia. Pantang mundur dalam setiap perjuangan membela dan mempertahankan negeri tercinta. Alasan penempatan di lokasi ini mempunyai nilai sejarah bagi Angkatan Laut RI semenjak berdirinya. Diresmikan di saat peringatan Hari Dharma Samudera pada tanggal 15 Januari 1967 oleh R.E. Martadinata.
38. PATUNG GAJAH
Patung berbentuk
gajah utuh berbahan perunggu yang diletakkan di halaman depan Museum Nasional
atau Museum Gajah atau Gedung Arca (lihat disini),
di Jln. Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat ini adalah hadiah dari Raja
Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum ini pada
bulan Maret 1871, hal ini tertulis pada bagian depan dari bangunan dimana
patung gajah itu berpijak: Geschenk van Zijne Majesteit SOMDETCH PHRA
PARAMINDR MAHA CHULALONKORN, Eersten Koning van Siam, aangeboden aan de
stad..(- Batavia)
ter herinnering aan zijn bezoek in de maand Maart 1871 (Hadiah dari yang
mulia Somdetch Phra Paramarindr Maha CHULALONKORN, Raja Siam
(Thailand) yang
pertama, diberikan kepada kota..
>Batavia [terhapus, tetapi
kemungkinan besar mengacu ke kota Batavia]
sebagai kenang-kenangan atas kunjungannya pada bulan Maret 1871). Patung Gajah
yang sama juga diberikan kepada negara Singapura dan hingga kini masih berada
di Raffles Museum Singapura.
39. PATUNG DADA SOEPRAPTO
Patung dada R. Soeprapto, berdiri
di halaman depan sebelah kanan gedung utama Kejaksaan Agung, Jalan Sultan
Hasanudin, Jakarta Selatan. Terbuat dari batu, dan landasannya dari marmer
setinggi kurang lebih dua meter. Pembuatnya adalah seorang pemahat yang juga
dosen ITB-Senirupa, But Muchtar dan Sidharta (1965). Patung ini dibuat sebagai
penghormatan atas pengabdian dan dedikasinya kepada Negara. R. Soeprapto telah
dijadikan Bapak Jaksa Indonesia.
R. Soeprapto menjadi Jaksa Agung keempat dari tahun 1951 hingga 1959, Jaksa Agung pertama kali yakni Gatot Taroenamihardja, lalu Kasman Singodimedjo dan Tirtawinata.
Mengenyam pendidikan Sekolah Hukum (Rechtsschool) di Batavia pada 1920, Suprapto mengawali karier sebagai staf Ketua Pengadilan Negeri di Landraad (pengadilan umum untuk bumiputera) Tulungagung dan Blitar, Jawa Tengah (1917). Setelah itu dia bertugas di berbagai daerah hingga memasuki era Jepang. Usai kemerdekaan, Soeprapto menjadi Ketua Pengadilan Karesidenan Pekalongan hingga Soekarno mengangkatnya menjadi Jaksa Agung pada kurun 1950-1959. Dalam kurun waktu yang dikenal dengan masa demokrasi liberal, yang ditandai jatuh-bangunnya berbagai kabinet. Soeprapto memainkan peran penting dalam meletakkan dasar-dasar hukum yang adil dan tak pandang bulu di republik ini. Misalnya, 17 Mei 1956, Soeprapto mengusulkan kepada Jawatan Imigrasi agar membuat peraturan yang bisa menghentikan orang-orang yang tengah berperkara hukum di Indonesia dari upaya melarikan ke luar negeri. Masih di bulan itu, Soeprapto juga mendenda General Electric (GE) milik Amerika Serikat sebesar 50 ribu dolar Amerika karena berbuat curang. Bersama KSAD Jenderal Mayor Nasution, Januari 1958 Soeprapto mengeluarkan maklumat bersama yang mengingatkan agar siapapun yang masih mempunyai utang kepada negara agar segera melunasi.
Soeprapto juga tak gentar memeriksa perwira dan anggota parlemen menyusul demonstrasi besar-besaran mendesak agar Parlemen dibubarkan pada 17 Oktober 1952. AH Nasution dan TB Simatupang perwira tinggi yang diperiksa oleh Soeprapto. Bekas menteri pertahanan Hamengkubuwono IX pun tak luput dari pemeriksaan.
Pada 13 Agustus 1955, Soeprapto membikin kejutan baru. Dalam jumpa pers hari itu, dia menyatakan telah memerintahkan agar Kehakiman Djody Gondokusumo ditahan dalam kasus korupsi. Dua tahun sebelumnya, Djody memberikan visa permanen kepada Bong Kim Tjhong tanpa memperdulikan keberatan yang antara lain disampaikan Kepala Polri. Untuk visa itu, Djody menerima hadiah sebesar Rp 40.000. Setelah melalui persidangan yang berbelit, majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis satu tahun penjara dipotong masa tahanan kepada sang menteri.
Begitulah Soeprapto, si pemberani yang terlupakan.
R. Soeprapto menjadi Jaksa Agung keempat dari tahun 1951 hingga 1959, Jaksa Agung pertama kali yakni Gatot Taroenamihardja, lalu Kasman Singodimedjo dan Tirtawinata.
Mengenyam pendidikan Sekolah Hukum (Rechtsschool) di Batavia pada 1920, Suprapto mengawali karier sebagai staf Ketua Pengadilan Negeri di Landraad (pengadilan umum untuk bumiputera) Tulungagung dan Blitar, Jawa Tengah (1917). Setelah itu dia bertugas di berbagai daerah hingga memasuki era Jepang. Usai kemerdekaan, Soeprapto menjadi Ketua Pengadilan Karesidenan Pekalongan hingga Soekarno mengangkatnya menjadi Jaksa Agung pada kurun 1950-1959. Dalam kurun waktu yang dikenal dengan masa demokrasi liberal, yang ditandai jatuh-bangunnya berbagai kabinet. Soeprapto memainkan peran penting dalam meletakkan dasar-dasar hukum yang adil dan tak pandang bulu di republik ini. Misalnya, 17 Mei 1956, Soeprapto mengusulkan kepada Jawatan Imigrasi agar membuat peraturan yang bisa menghentikan orang-orang yang tengah berperkara hukum di Indonesia dari upaya melarikan ke luar negeri. Masih di bulan itu, Soeprapto juga mendenda General Electric (GE) milik Amerika Serikat sebesar 50 ribu dolar Amerika karena berbuat curang. Bersama KSAD Jenderal Mayor Nasution, Januari 1958 Soeprapto mengeluarkan maklumat bersama yang mengingatkan agar siapapun yang masih mempunyai utang kepada negara agar segera melunasi.
Soeprapto juga tak gentar memeriksa perwira dan anggota parlemen menyusul demonstrasi besar-besaran mendesak agar Parlemen dibubarkan pada 17 Oktober 1952. AH Nasution dan TB Simatupang perwira tinggi yang diperiksa oleh Soeprapto. Bekas menteri pertahanan Hamengkubuwono IX pun tak luput dari pemeriksaan.
Pada 13 Agustus 1955, Soeprapto membikin kejutan baru. Dalam jumpa pers hari itu, dia menyatakan telah memerintahkan agar Kehakiman Djody Gondokusumo ditahan dalam kasus korupsi. Dua tahun sebelumnya, Djody memberikan visa permanen kepada Bong Kim Tjhong tanpa memperdulikan keberatan yang antara lain disampaikan Kepala Polri. Untuk visa itu, Djody menerima hadiah sebesar Rp 40.000. Setelah melalui persidangan yang berbelit, majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis satu tahun penjara dipotong masa tahanan kepada sang menteri.
Begitulah Soeprapto, si pemberani yang terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar